BP3MI Aceh dan Yayasan Geutanyoe Jajaki Kerja Sama Pemberdayaan Korban TPPO
-

BP3MI Aceh dan Yayasan Geutanyoe Jajaki Kerja Sama Pemberdayaan Korban TPPO, (16/7/2025).
Banda Aceh, KP2MI (16/07) – Balai Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) Aceh menerima kunjungan Yayasan Geutanyoe dalam rangka penjajakan kerja sama pelaksanaan workshop dan program pemberdayaan korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), Selasa (16/07/2025).
Kunjungan dipimpin Ketua Yayasan Geutanyoe, Al Fadhil, dan diterima langsung oleh Kepala BP3MI Aceh, Siti Rolijah, bersama jajaran.
Pertemuan dibuka dengan pemaparan profil Yayasan Geutanyoe yang telah berkiprah sejak 24 Desember 2013, fokus pada isu kemanusiaan, perdamaian, dan penanganan kekerasan. Dalam presentasinya, Al Fadhil menyoroti tingginya angka TPPO di Aceh serta ketiadaan landasan hukum yang komprehensif dalam penanganannya.
“Workshop yang kami rancang akan berlangsung selama enam bulan, dengan fokus pada peningkatan kesadaran publik dan pemberian dukungan serta perlindungan bagi korban maupun saksi TPPO,” jelasnya.
Yayasan Geutanyoe juga mengusulkan pelibatan BP3MI Aceh sebagai narasumber workshop serta mitra dalam program pemberdayaan korban yang telah terdata di BP3MI.
Menanggapi hal tersebut, Kepala BP3MI Aceh menyambut positif inisiatif tersebut.
“Sinergi antara pemerintah dan masyarakat sipil menjadi kunci dalam menghadapi kompleksitas TPPO. Kami siap berkontribusi, terutama dalam edukasi kepada masyarakat akar rumput untuk menekan angka migrasi nonprosedural,” tegas Siti Rolijah.
Terkait permintaan data korban, Delina Haloho dari BP3MI Aceh menegaskan bahwa lembaganya hanya dapat membagikan informasi makro seperti jenis kasus, negara tujuan, asal daerah, dan kategori pengaduan. Data pribadi hanya dapat diberikan atas persetujuan korban.
Sementara itu, Chairullah menekankan pentingnya keberlanjutan program.
“Jangan hanya berhenti pada sosialisasi. Harus ada kelanjutan hingga ke tahap pemberdayaan agar korban tidak kembali terjerat migrasi tidak aman,” ujarnya.
Fauzah Marhamah menambahkan pentingnya pendekatan berbasis komunitas, terutama menyasar pelajar sebagai kelompok rentan.
“Literasi migrasi aman harus masuk sejak pendidikan dasar untuk membentuk ketahanan sosial terhadap jaringan perdagangan orang,” jelasnya.
Budi Luhur N. menilai keterlibatan BP3MI krusial dalam meningkatkan kredibilitas workshop.
“BP3MI sebagai garda terdepan pelindungan pekerja migran akan memperkuat substansi materi workshop dan memberi perspektif kelembagaan,” ungkapnya. Ia juga mengusulkan sinergi dalam pelatihan keterampilan dan dukungan psikososial bagi korban.
Audiensi berlangsung terbuka dan konstruktif. Kedua pihak sepakat menindaklanjuti pertemuan ini melalui penyusunan agenda bersama, penjadwalan workshop, serta koordinasi teknis untuk mendukung program pemberdayaan yang inklusif dan berkelanjutan. **(Humas/BP3MI Aceh).